1. Sampyong 

Sampyong ialah  permainan rakyat majalengka pada tahun 1960-an di wilayah  Cibodas. Akan namun  dahulu
permainan ini dikenal dengan nama Ujungan. Ujungan tergolong  permainan ketangkasan dan kekuatan memukul dan dipukul.

Permainan ini terdiri dari 2 orang dan dipimpin wasit yang dinamakan  Maladang. Pemain me sti memakai  teregos atau balaktual. Tapi sebab  permainan ini terlampau  bebas, jadi dibuat sejumlah  peraturan. Nah, dari situ nama ujungan ditinggalkan, dan kini  lebih popular dengan nama Sampyong yang dengan kata lain  Sam berarti tiga dan pyong ialah  pukulan. Sebagai penghormatan seni sampyong Mekar Pedesaan dari Simpeurem pernah mewakili Jawa Barat pada event peragaan  seni di Bali.

2. Gaok 

Gaok adalah kesenian jenis mamaos (membaca teks) atau disebut pun  wawacan, dari kata wawar ka nu acan (memberi tahu untuk  yang belum mengetahui), yang disuguhkan untuk kebutuhan  ritual atau upacara adat ‘ngayun’ (acara seminggu kelahiran bayi). Kata gaok berasal dari kata “gorowok” dengan kata lain  berteriak, sebab  gaok dibawakan dengan teknik  dinyanyikan dengan suara yang keras atau dengan nada tinggi.

Gaok dibawakan dengan teknik  memaparkan kisah  babad tanpa iringan musik. Jika kini  terdapat peningkatan  alat musik, tersebut  hanya dipakai  sebagai pendahuluan  saja, tidak dipakai  untuk mengiringi mamaos / gaok secara keseluruhan. Sering perangkat  musik dipakai  hanya sebagai jeda saja.

Berkembang di Majaléngka semenjak  masa peme-rintahan Pangéran Muhammad, yakni  pada abad ke-15. Diprediksi bahwa gaok adalah media dakwah Islam sebelum masyarakat mengenal kebiasaan  baca. Kesenian ini merasakan  sinkritisme antara nilai-nilai kebiasaan  etnis Sunda dengan kebiasaan  Islam yang datang dari Cirebon. Artinya terdapat  pencampuran antara nilai kebiasaan  Sunda dengan nilai kebiasaan  Islam. Misalnya, pertunjukan dibuka  dengan perkataan  basmallah, tetapi  bahasa yang dipakai  kemudian ialah  bahasa Sunda.

Tokoh yang berperan mengembangkan kesenian gaok antaranya ialah  Sabda Wangsaharja selama  tahun 1920-an. Beliau berdomisili di Kulur, Majaléngka.

3. Kuda Renggong 

Kuda Renggong berkembang di Kabupaten Majalengka dari tahun 1950-an. Yang pada tadinya  pertnjukan seni ini disiapkan guna  melayani pesta sunat. Sedangkan ketika  ini kesenian kuda Renggong bukan guna  pesta sunat saja, bakal  tetapi pun  dupersiapkan guna  acara lain, laksana  upacara hari besar, festival, dan menyambut tamu.

Dalam peragaan  ini, sang kuda bakal  menari seraya  berjalan dan diperbanyak  dengan keterampilan  atraksi pencak silat. Namun atraksi pencak silat dilaksanakan  setelah kuda renggong mengerjakan  arak-arakan keliling dusun  sambil di tunggangi anak sunat. Pada ketika  arak-arakan pengantin sunat, masyarakat selama  yang suka berjoget turut meramaikan  suasana berjoget didepan kuda dengan maksud menghibur pengantin sunat. Pengantin sunat yang manunggangi kuda juga  didandani dengan pakaian gatotkaca sampai-sampai  tampak gagah.
Kesenian kuda renggong berkembang pesat dan tersebar nyaris  di seluruh  Kecamatan di Majalengka. Berdasarkan keterangan dari  Arthur Nalan, arti  simbolis kuda renggong ialah  makna spiritual, arti  interaksi makhluk Tuhan, teatrikal dan arti  unversal.